Adakah jejak sejarah Aceh di Pekanbaru benar2 nyata? kenapa Acara Mandi
Belimau di Pekanbaru dinamakan MEGANG (seperti di Aceh)?Kenapa acara
Mandi Belimau itu tidak ada acara MAKAN DAGINGnya? Demikianlah sekelumit pertanyaan yang timbul mengingat Tradisi Mandi Belimau asalnya adalah asli dari Pekanbaru.
Tradisi Megang Aceh
Masyarakat Aceh memiliki tradisi unik yang disebut Meugang yang berfungsi untuk
menghormati datangnya hari-hari besar Islam. Di tempat lain juga ada
tradisi serupa, namun ada perbedaan yang nyata dengan apa yang dilakukan
oleh masyarakat Aceh. Misalnya menjelang puasa orang ramai berziarah ke
makam-makam leluhur atau mendatangi tempat-tempat pemandian untuk
melakukan ritual mandi. Di Jawa Tengah dikenal dengan nama Padhusan, di
daerah Riau dan Sumatra Barat dan sekitarnya disebut Mandi Balimau,
serta di Tapanuli Selatan disebut Marpangir. Sementara di Aceh, dua hari
menjelang bulan puasa masyarakat akan beramai-ramai mendatangi pasar
untuk membeli daging sapi.
Tradisi Meugang atau yang juga dikenal dengan berbagai sebutan, antara
lain Makmeugang, Memeugang, Haghi Mamagang, Uroe Meugang atau Uroe
Keumeukoh merupakan rangkaian aktivitas dari membeli, mengolah, dan
menyantap daging sapi. Meskipun yang utama dalam tradisi Meugang adalah
daging sapi, namun ada juga masyarakat yang menambah menu masakannya
dengan daging kambing, ayam, juga bebek. Meugang biasanya dilaksanakan
selama tiga kali dalam setahun, yaitu dua hari sebelum datangnya bulan
puasa, dua hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, dan dua hari menjelang
Idul Adha.
Amir Hamzah (dalam http://www.acehfeature.org),
salah seorang tokoh masyarakat Aceh mengatakan, tradisi ini dulunya
dikenal dengan nama Makmeugang. Gang dalam bahasa Aceh berarti pasar, di
mana di dalamnya terdapat para penjual daging yang digantung di bawah
bambu. Pada hari-hari biasa, tak banyak masyarakat umum yang mendatangi
pasar itu. Namun, pada hari-hari tertentu, yaitu menjelang bulan
Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, masyarakat akan ramai mendatangi
pasar, sehingga ada istilah Makmu that gang nyan (makmur sekali pasar
itu). Maka, jadilah nama Makmeugang.
Hamzah dalam sumber tersebut di atas mengatakan tradisi ini telah muncul
bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh, yaitu sekitar abad
ke-14 M. Sesuai anjuran agama Islam, datangnya bulan Ramadhan sebaiknya
disambut secara meriah, begitu juga dengan dua hari raya, yaitu hari
raya Idul Fitri dan Idul Adha. Jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh
terbiasa menikmati makanan dari sungai maupun laut, maka menyambut hari
istimewa itu (hari Meugang), masyarakat Aceh merasa daging sapi atau
lembulah yang terbaik untuk dihidangkan. Zaman dahulu, pada hari
Meugang, para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging
sapi kepada fakir miskin. Hal ini merupakan salah satu cara memberikan
sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang
tidak mampu.
Menurut Ali Hasjmy (1983: 151), dalam masa kejayaan Kerajaan Aceh
Darussalam, hari Meugang dirayakan di Keraton Darud Dunia dengan
dihadiri oleh sultan, para menteri dan pembesar kerajaan, serta alim
ulama. Hari Meugang ini biasanya jatuh pada tanggal 29 atau 30 Sya‘ban
(dua hari atau sehari menjelang bulan Ramadhan). Menjelang upacara
tersebut, Syahbandar Seri Rama Setia biasanya akan memberikan hadiah
berupa pakaian yang akan dipakai sultan dalam upacara itu. Selain itu,
Syahbandar Seri Rama Setia juga akan menyediakan karangan-karangan bunga
yang ditempatkan di makam para sultan. Gambaran mengenai kemeriahan
tradisi tersebut juga dipaparkan oleh Lombard (2007: 204—205).
Ali Hasjmy juga menjelaskan bahwa pada hari itu, sultan juga
memerintahkan kepada Imam Balai Baitul Fakir/Miskin (yaitu lembaga yang
bertugas menyantuni kaum dhuafa dan yatim piatu) untuk membagikan
daging, pakaian, dan beras kepada fakir miskin, orang lumpuh, dan para
janda. Biaya untuk penyantunan fakir miskin pada hari Meugang ini
ditanggung oleh Bendahara Balai Silatur Rahim, yaitu lembaga yang
berfungsi mengatur hubungan persaudaraan antar-warga negara dan
antar-manusia yang berdiam dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Hingga
kekuasan pemerintah kolonial Hindia Belanda, tradisi Meugang ini tetap
dilaksanakan di Aceh. Bahkan Pemerintah Belanda mengambil kebijakan
libur kerja pada hari Meugang serta membagi-bagikan daging pada
masyarakat (Hasjmy, 1983: 151).
Dalam catatan Snouck Hurgronje (1997: 175), tradisi Meugang sudah sangat
melembaga bagi masyarakat Aceh. Tradisi ini bahkan dapat membantu
perjuangan para pahlawan Aceh untuk bergerilya, terutama karena telah
dikenalnya teknologi sederhana untuk pengawetan makanan, yaitu dengan
pemberian cuka, garam, dan bahan-bahan lainnya. Dengan daging awetan
itu, para pejuang Aceh dapat menjaga persediaan makanan sehingga dapat
bertahan untuk melakukan perang gerilya. Dalam tradisi Meugang,
pengawetan daging ini tentu saja sangat dibutuhkan. Sebab, pada hari
Meugang, di mana hampir seluruh masyarakat bumi rencong melakukan
pemotongan daging sapi secara besar-besaran, maka untuk menjaga stok
tersebut supaya dapat dikonsumsi dalam beberapa hari kemudian diperlukan
upaya pengawetan.
Melembaganya tradisi Meugang dalam masyarakat Aceh dapat dilihat dari
jaringan sosial yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan daging pada hari
Meugang. Jauh hari sebelum Meugang dilaksanakan, masyarakat gampong
(kampung) akan bermusyawarah di meunasah (tempat berkumpulnya orang
dewasa untuk melakukan ibadah, musyawarah, maupun menyelesaikan berbagai
persoalan sosial-budaya) untuk menentukan ripee, yaitu jumlah pungutan
atau iuran warga untuk membeli sapi yang akan dipotong bersama-sama.
Gotong royong mengumpulkan uang inilah yang kemudian dikenal dengan
sebutan Meuripee. Pada hari Meugang, sapi-sapi hasil iuran bersama akan
dipotong dan kemudian dibagi rata.
ACARA MEGANG DI PEKANBARU
Riau Pos Online-Acara ritual Petang Megang di Sungai Siak Pekanbaru menyambut datangnya Bulan Suci Ramadan 1434 H tahun ini, dilaksanakan Selasa petang nanti (9/7) usai salah Ashar. Acara akan dimulai dari Masjid Raya Pekanbaru disusul dengan arak-arakan ke pinggir Sungai Siak Pekanbaru di bawah Jembatan Leighton (Jembatan Siak I) Pekanbaru yang akan dibuka resmi Wali kota Pekanbaru Ir Firdaus MT didampingi Wakil Wali Kota Ayat Cahyadi SSi dan Kadis Pariwisata Kota Pekanbaru Destrayani Bibra.
Menurut keterangan penggagas/Pelopor acara Petang Megang Anas Aismana kepada pers
termasuk Riau Pos Online
Senin (8/7) acara Petang Megang pertama dilaksanakan tahun 1997 lalu
dan dari tahun ke tahun acara ini sudah menjadi tradisi dalam menyambut
Ramadan. Dari tahun ke tahun semakin dikenal luas di Riau.
Diharapkan iven ini tidak hanya iven lokal Kota Pekanbaru tapi
diharapkan ke depannya jadi iven Nasional dan dimasukkan dalam Kalender
Pariwisata Provinsi Riau. Di mana tahun depan
menurut seniman dan budayawan Melayu Pekanbaru ini bahwa diharapkan
sepekan sebelum acara Petang Megang didahului dengan pembukaan acara
Pameran Seni Budaya Islami dengan bentangan pentas di kiri-kanan Sungai
Siak Pekanbaru.
Menurut Anas Aismana, pihaknya selaku seniman dan budayawan beberapa
waktu lalu sudah mengajukan ke Pemko Pekanbaru agar acara Petang Megang
1434 H tahun ini juga diiringi dengan
Pameran Seni Budaya sebelum pembukaan acara Petang Megang dengan
membentang pentas di kiri-kanan Sungai Siak Pekanbaru. Tapi karena
keterbatasan dana, pentas pameran tak jadi dilaksanakan.
Arti Petang Megang itu tambah Anas, mengandung makna dua pengertian.
Yaitu Petang artinya sore. Sedangkan Megang artinya waktu yang senggang
antara bulan Sa'ban dengan datangnya Ramadan atau makna kedua Megang itu
artinya keputusan yang diambil di antara bulan Sa'ban menjelang
datangnya Ramadan. Maka di antara kedua bulan itu diadakan acara ritual
Belimau di Sungai Siak Pekanbaru.
Demikianlah telah terjadi pergantian nama menjadi Megang (seperti di Aceh), mungkin ada kaitan dengan usaha pihak-pihak tertentu yang ingin agar acaranya berbeda dengan Mandi Belimau yang asli Pekanbaru.