hello

Sunday, 12 January 2014

Sejarah Meugang Mandi Belimau Kota Pekanbaru

Adakah jejak sejarah Aceh di Pekanbaru benar2 nyata? kenapa Acara Mandi Belimau di Pekanbaru dinamakan MEGANG (seperti di Aceh)?Kenapa acara Mandi Belimau itu tidak ada acara MAKAN DAGINGnya? Demikianlah sekelumit pertanyaan yang timbul mengingat Tradisi Mandi Belimau asalnya adalah asli dari Pekanbaru.
Tradisi Megang Aceh
Masyarakat Aceh memiliki tradisi unik yang disebut Meugang yang berfungsi untuk menghormati datangnya hari-hari besar Islam. Di tempat lain juga ada tradisi serupa, namun ada perbedaan yang nyata dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Aceh. Misalnya menjelang puasa orang ramai berziarah ke makam-makam leluhur atau mendatangi tempat-tempat pemandian untuk melakukan ritual mandi. Di Jawa Tengah dikenal dengan nama Padhusan, di daerah Riau dan Sumatra Barat dan sekitarnya disebut Mandi Balimau, serta di Tapanuli Selatan disebut Marpangir. Sementara di Aceh, dua hari menjelang bulan puasa masyarakat akan beramai-ramai mendatangi pasar untuk membeli daging sapi.


Tradisi Meugang atau yang juga dikenal dengan berbagai sebutan, antara lain Makmeugang, Memeugang, Haghi Mamagang, Uroe Meugang atau Uroe Keumeukoh merupakan rangkaian aktivitas dari membeli, mengolah, dan menyantap daging sapi. Meskipun yang utama dalam tradisi Meugang adalah daging sapi, namun ada juga masyarakat yang menambah menu masakannya dengan daging kambing, ayam, juga bebek. Meugang biasanya dilaksanakan selama tiga kali dalam setahun, yaitu dua hari sebelum datangnya bulan puasa, dua hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, dan dua hari menjelang Idul Adha.
Amir Hamzah (dalam http://www.acehfeature.org), salah seorang tokoh masyarakat Aceh mengatakan, tradisi ini dulunya dikenal dengan nama Makmeugang. Gang dalam bahasa Aceh berarti pasar, di mana di dalamnya terdapat para penjual daging yang digantung di bawah bambu. Pada hari-hari biasa, tak banyak masyarakat umum yang mendatangi pasar itu. Namun, pada hari-hari tertentu, yaitu menjelang bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, masyarakat akan ramai mendatangi pasar, sehingga ada istilah Makmu that gang nyan (makmur sekali pasar itu). Maka, jadilah nama Makmeugang.
Hamzah dalam sumber tersebut di atas mengatakan tradisi ini telah muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh, yaitu sekitar abad ke-14 M. Sesuai anjuran agama Islam, datangnya bulan Ramadhan sebaiknya disambut secara meriah, begitu juga dengan dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh terbiasa menikmati makanan dari sungai maupun laut, maka menyambut hari istimewa itu (hari Meugang), masyarakat Aceh merasa daging sapi atau lembulah yang terbaik untuk dihidangkan. Zaman dahulu, pada hari Meugang, para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging sapi kepada fakir miskin. Hal ini merupakan salah satu cara memberikan sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang tidak mampu.
Menurut Ali Hasjmy (1983: 151), dalam masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, hari Meugang dirayakan di Keraton Darud Dunia dengan dihadiri oleh sultan, para menteri dan pembesar kerajaan, serta alim ulama. Hari Meugang ini biasanya jatuh pada tanggal 29 atau 30 Sya‘ban (dua hari atau sehari menjelang bulan Ramadhan). Menjelang upacara tersebut, Syahbandar Seri Rama Setia biasanya akan memberikan hadiah berupa pakaian yang akan dipakai sultan dalam upacara itu. Selain itu, Syahbandar Seri Rama Setia juga akan menyediakan karangan-karangan bunga yang ditempatkan di makam para sultan. Gambaran mengenai kemeriahan tradisi tersebut juga dipaparkan oleh Lombard (2007: 204—205).
Ali Hasjmy juga menjelaskan bahwa pada hari itu, sultan juga memerintahkan kepada Imam Balai Baitul Fakir/Miskin (yaitu lembaga yang bertugas menyantuni kaum dhuafa dan yatim piatu) untuk membagikan daging, pakaian, dan beras kepada fakir miskin, orang lumpuh, dan para janda. Biaya untuk penyantunan fakir miskin pada hari Meugang ini ditanggung oleh Bendahara Balai Silatur Rahim, yaitu lembaga yang berfungsi mengatur hubungan persaudaraan antar-warga negara dan antar-manusia yang berdiam dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Hingga kekuasan pemerintah kolonial Hindia Belanda, tradisi Meugang ini tetap dilaksanakan di Aceh. Bahkan Pemerintah Belanda mengambil kebijakan libur kerja pada hari Meugang serta membagi-bagikan daging pada masyarakat (Hasjmy, 1983: 151).
Dalam catatan Snouck Hurgronje (1997: 175), tradisi Meugang sudah sangat melembaga bagi masyarakat Aceh. Tradisi ini bahkan dapat membantu perjuangan para pahlawan Aceh untuk bergerilya, terutama karena telah dikenalnya teknologi sederhana untuk pengawetan makanan, yaitu dengan pemberian cuka, garam, dan bahan-bahan lainnya. Dengan daging awetan itu, para pejuang Aceh dapat menjaga persediaan makanan sehingga dapat bertahan untuk melakukan perang gerilya. Dalam tradisi Meugang, pengawetan daging ini tentu saja sangat dibutuhkan. Sebab, pada hari Meugang, di mana hampir seluruh masyarakat bumi rencong melakukan pemotongan daging sapi secara besar-besaran, maka untuk menjaga stok tersebut supaya dapat dikonsumsi dalam beberapa hari kemudian diperlukan upaya pengawetan.
Melembaganya tradisi Meugang dalam masyarakat Aceh dapat dilihat dari jaringan sosial yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan daging pada hari Meugang. Jauh hari sebelum Meugang dilaksanakan, masyarakat gampong (kampung) akan bermusyawarah di meunasah (tempat berkumpulnya orang dewasa untuk melakukan ibadah, musyawarah, maupun menyelesaikan berbagai persoalan sosial-budaya) untuk menentukan ripee, yaitu jumlah pungutan atau iuran warga untuk membeli sapi yang akan dipotong bersama-sama. Gotong royong mengumpulkan uang inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Meuripee. Pada hari Meugang, sapi-sapi hasil iuran bersama akan dipotong dan kemudian dibagi rata.
ACARA MEGANG DI PEKANBARU

Riau Pos Online-Acara ritual Petang Megang di Sungai Siak Pekanbaru menyambut datangnya Bulan Suci Ramadan 1434 H tahun ini, dilaksanakan Selasa petang nanti (9/7) usai salah Ashar. Acara akan dimulai dari Masjid Raya Pekanbaru disusul dengan arak-arakan ke pinggir Sungai Siak Pekanbaru di bawah Jembatan Leighton (Jembatan Siak I) Pekanbaru yang akan dibuka resmi Wali kota Pekanbaru Ir Firdaus MT didampingi Wakil Wali Kota Ayat Cahyadi SSi dan Kadis Pariwisata Kota Pekanbaru Destrayani Bibra.
Menurut keterangan penggagas/Pelopor acara Petang Megang Anas Aismana kepada pers
termasuk Riau Pos Online Senin (8/7) acara Petang Megang pertama dilaksanakan tahun 1997 lalu dan dari tahun ke tahun acara ini sudah menjadi tradisi dalam menyambut Ramadan. Dari tahun ke tahun semakin dikenal luas di Riau.
Diharapkan iven ini tidak hanya iven lokal Kota Pekanbaru tapi diharapkan ke depannya jadi iven Nasional dan dimasukkan dalam Kalender Pariwisata Provinsi Riau. Di mana tahun depan menurut seniman dan budayawan Melayu Pekanbaru ini bahwa diharapkan sepekan sebelum acara Petang Megang didahului dengan pembukaan acara Pameran Seni Budaya Islami dengan bentangan pentas di kiri-kanan Sungai Siak Pekanbaru.
Menurut Anas Aismana, pihaknya selaku seniman dan budayawan beberapa waktu lalu sudah mengajukan ke Pemko Pekanbaru agar acara Petang Megang 1434 H tahun ini juga diiringi dengan Pameran Seni Budaya sebelum pembukaan acara Petang Megang dengan membentang pentas di kiri-kanan Sungai Siak Pekanbaru. Tapi karena keterbatasan dana, pentas pameran tak jadi dilaksanakan.
Arti Petang Megang itu tambah Anas, mengandung makna dua pengertian. Yaitu Petang artinya sore. Sedangkan Megang artinya waktu yang senggang antara bulan Sa'ban dengan datangnya Ramadan atau makna kedua Megang itu artinya keputusan yang diambil di antara bulan Sa'ban menjelang datangnya Ramadan. Maka di antara kedua bulan itu diadakan acara ritual Belimau di Sungai Siak Pekanbaru.
 
Demikianlah telah terjadi pergantian nama menjadi Megang (seperti di Aceh), mungkin ada kaitan dengan usaha pihak-pihak tertentu yang ingin agar acaranya berbeda dengan Mandi Belimau yang asli Pekanbaru.
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger