Soal Al-Maidah 51, Cak Nun: Yang Bilang Gubernur Itu Pemimpin Siapa?
Meski Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah meminta
maaf secara terbuka, kontroversi soal surat Al-Maidah 51 belum tamat.
Pasalnya, penanganan pelaporan dari sejumlah ormas tentang dugaan
penghinaan Agama di Bareskrim tetap berlanjut, kata Kadiv Humas Polri
Irjen Boy Rafli Amar di Mabes Polri (10/10).
[Baca: Keseleo Lidah Soal Al-Maidah 51, Akhirnya Ahok Minta Maaf]
Seperti diketahui, surat Al-Maidah ayat 51 yang disebut Ahok diyakini
sebagian orang sebagai ayat penolakan terhadap pemimpin kafir. Namun
menurut Prof. Quraish Shihab, tafsir ayat itu tidak sesederhana itu.
Tafsir kata ‘awliya’ dalam ayat itu saja tidak sebatas pemimpin.
Berbicara soal pemimpin kafir, di kesempatan berbeda, budayawan senior
Emha Aiun Najib tidak setuju jika kafir dan Muslimnya seseorang dinilai
seperti benda mati.
“Status Muslim dan kafir itu dinamis (pada setiap orang), tidak bisa
dinilai dengan ukuran statis,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini
sembari menegaskan bahwa pendapatnya tidak ada kaitannya dengan Gubernur
Ahok.
Pandangan alternatif pria kelahiran Jombang ini mengingatkan juga pada
hadist Nabi Saw yang bersabda: “Tidak termasuk orang yang beriman, siapa
saja yang kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR.
Bukhari)
Selain itu, lanjut Cak Nun, Muslim atau kafir tidak berdiri sendiri.
Kafir kepada siapa? Jika ia kafir dalam arti membangkang atau ingkar
pada perintah Iblis, berarti sejatinya ia beriman pada Allah.
Sebaliknya, jika ia berserah diri pada rayuan Iblis maka ia sejatinya
orang yang ‘Muslim’ pada Iblis.
“Hukum tidak mengadili manusia, tapi yang diadili adalah perbuatannya,”
kata penulis buku ‘Slilit Sang Kiayi’ ini menjelaskan filosofi hukum.
Karena itu, menghakimi seseorang bahwa ia Muslim dan kafir bukan dilihat
dari identitasnya, tapi perbuatannya. Jadi orang yang sekarang disebut
Muslim bisa kafir kapan saja.
“Toh Anda tidak bersyukur aja tergolong kufur ko,” katanya sambil menjelaskan ragam tingkatan kufur.
Jika kita ditinjau dari hadist-hadist Nabi, kekafiran itu identik dengan
moral seseorang. Bukhari misalnya meriwayatkan, “Tidaklah beriman
seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang
peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman seorang
pencuri ketika ia sedang mencuri.”
Cak Nun juga menyampaikan kritik soal dikotomi pemimpin kafir tapi adil
dan pemimpin Muslim tapi dzalim. Pertama, keduanya bukanlah kriteria
pemimpin. Muslim tapi dzalim tidak memenuhi kriteria kepemimpinan,
sedemikian sehingga tidak bisa disebut pemimpin.
“Ini bertentangan satu sama lain. Ini kesalahan substantif dalam berfikir”
[Baca – Cak Nun: Kalau Ada Pemimpin Adil, Ya Tidak Bisa Disebut Kafir Dong]
Cak Nun lalu mempertanyakan bagaimana mungkin ada Muslim tapi disebut
dzalim. Baginya, jika dikaji makna substantifnya, kalau dzalim pasti
bukan Muslim. “Gula ko pahit?,” katanya memberikan analogi.
Tidak berbeda dengan pernyataan tentang kafir itu adil. Kekufuran itu,
kata Cak Nun, bahkan merupakan puncak ketidakadilan. Kepada Tuhan saja
ia tidak bersikap adil, bagaimana ia bisa disebut adil secara
horizontal. Karena itu, dikotomi kesalehan individual dan kesalehan
sosial juga terlalu dangkal. Bagi Cak Nun, jika perilakunya merusak di
ranah sosial, sejatinya tidak layak disebut saleh meski secara lahir
terlihat saleh. Karena orang saleh (secara individu) akan saleh secara
sosial.
Penjelasan ini sejatinya mencerminkan hubungan identik antara keimanan
dan empati sosial. Misalnya, dalam sebuah hadist, Nabi Saw bersabda:
“Tak beriman seseorang dari kalian hingga dia menginginkan kebaikan bagi
saudaranya sebagaimana dia menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri.”
Selanjutnya, kata Cak Nun, “Yang bilang gubernur itu pemimpin itu
siapa?” Gubernur, bagi pria asal Jombang ini, bukanlah pemimpin tapi
petugas. Gubernur sebagaimana pejabat lainnya ialah orang yang dibayar