hello

Sunday, 27 March 2016

Suku Laut di Dalam Arus Turbulensi Melayu

Sepertinya Gelaran " Melayu" telah mengalami ekstensifikasi dan metamorofsa, mengingat dalam sejarah melayu konvensional, melayu adalah jenis suku bangsa yang terbatas pada kaum bangsawan dan kaum raja.
Penjajah British sangat berpengaruh kepada metamorfosa ini, sehingga kaum melayu tua, sebuat saja "suku laut" dan "suku asli" di malaysia dan indonesia tidak dimasukkan kedalam gelaran "melayu" ataupun " anak jati melayu"
Berikut adalah analisa dari Khidir P, peneliti dari UGM:

Di negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya, isu etnisitas dalam relasinya dengan etnis lain atau bahkan negara biasanya menjadi fenomena pelik, yang tak jarang berujung pada konflik. Sebut saja misalnya orang-orang Pattani (Melayu Muslim) dengan bangsa Thai yang mayoritas menganut Buddhisme di Thailand atau pada orang-orang Moro Muslim di Filipina Selatan dengan bangsa Filipina yang mayoritas Kristiani.
Di Indonesia sendiri, sejumlah corak persoalan seperti itu lebih tampak pada relasi antaretnis dalam kehidupan sehari-hari maupun antara kelompok minoritas dengan mayoritas di wilayah tertentu, daripada seperti apa yang terjadi di Thailand maupun Filipina.
Mengacu pada Lioba Lenhart (1997:578), bahwa etnisitas merupakan terminologi dalam antropologi maupun sosiologi untuk menggambarkan karakteristik khusus dari sebuah kelompok etnis (yang melingkupi aspek kosmologi, bahasa, asal-usul leluhur dan wilayah, sistem kekerabatan dan prinsip-prinsip organisasi sosial, religiositas, serta nilai-nilai dasar adat dalam kehidupan), yang bermakna apabila dibandingkan atau diletakkan dalam konteks hubungannya dengan kelompok etnis lain maupun relasinya dengan negara.
Sehubungan dengan itu, tulisan ini akan mendiskusikan bagaimana relasi kelompok etnis Orang Suku Laut dengan orang Melayu (yang secara historis maupun sosiologis nilai-nilai adatnya lekat dengan warna Islami) di Kepulauan Riau dan juga negara (dengan Pancasila sebagai falsafah hidup dan proyek pembangunan di masa Orde Baru). Ini menarik karena mereka tinggal dalam satu kawasan, dan dalam interaksi sosial terjadi pergulatan atau tarik-menarik dua identitas di antara mereka.
Dalam konteks sosio-kultural bangsa Melayu, agama Islam kemudian menjadi isu sentral yang tidak dapat diabaikan. Sementara, negara pada tataran tertentu ternyata juga menyumbang munculnya praktik-praktik diskriminasi oleh orang Melayu terhadap Orang Suku Laut di Kepulauan Riau.
Orang Suku Laut
Orang Suku Laut secara de facto adalah kelompok etnis dalam jumlah kecil di tengah mayoritas masyarakat Melayu. Mereka hidup di pulau-pulau di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Asal-usul kedatangan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau diperkirakan sekitar tahun 2500—1500 SM sebagai bangsa proto Melayu (Melayu tua) (Lebar, 1972 dan Liamsi, 1986 dalam Trisnadi, 2002) dan kemudian menyebar ke Sumatra melalui Semenanjung Malaka. Pasca-1500 SM terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu yang mengakibatkan terdesaknya bangsa proto Melayu ke wilayah pantai (daratan pesisir). Kelompok yang terdesak inilah yang kini dikenal sebagai Orang Suku Laut (Departemen Sosial, 1988 dalam Trisnadi, 2002:3; James Warren, 2003).
Ketika tanah Melayu diperintah oleh Kesultanan Riau-Lingga sekitar abad ke-18, Orang Suku Laut dilukiskan sebagai sekumpulan kelompok sukubangsa atau klan (David Shoper, 1977) yang dibedakan berdasarkan teritori domisili mereka. Masing-masing klan ini terdiri dari berbagai nama, seperti Suku Tambus, Suku Galang, Suku Mantang, Suku Barok, dan Suku Mapor (Bettarini, 1991; Chou, 2003:18; Lenhart, 1997:584, 2004:750).
Konon, ketika para klan itu bersatu, mereka disebut sebagai “orang kerahan” yang mengabdi kepada sultan untuk menjaga wilayah perairan kesultanan, berperang, serta menyediakan kebutuhan-kebutuhan laut bagi kesultanan. Selain suplai kebutuhan kerabat sultan, komoditas laut ini juga merupakan produk ekspor utama, terutama negeri Cina sebagai importir utamanya (Vos, 1993:121-128 dalam Chou, 2003:18). Dari hubungan historis yang demikian, Orang Suku Laut saat ini memandang orang Melayu adalah kaum aristokrat dan pedagang.
Tabel 1. Orang Laut di Asia Tenggara*
NoNamaLokasi / DomisiliReligiBahasa / Dialek
1Urak Lawoi’/Orak Lawoi’/Lawta/Chaw Talay/Chawnam/LawoiPulau Phuket, Phi Phi, Jum, Lanta, Bulon, Lipe, Andang di Kepulauan Andang, Andaman Thailand SelatanTraditional religion(animisme),Theravada Buddhism,KristianiMelayu Cho Lai/Melayu Urak Lawoi’[1]
2Suku MokenThailand Selatan, Myanmar (Birma), dan Malaysia (Laut Andaman)
3Sea Gypsies/Sea NomadsFilipina
4Orang Suku Laut/Orang Laut/ Orang SampanSubgrup: Orang (Suku) Mantang, Orang (Suku) Mapor, Orang (Suku) Barok, dan Orang (Suku) GalangGugusan pulau di Provinsi Kepulauan Riau, IndonesiaKeyakinan lokal (memuja dewa laut); sebagian telah menganut Islam dan KristenDialek Orang Suku Laut
5Suku Ameng SewangProvinsi Bangka Belitung, Indonesia
6Badjao/Badjau, Bajao, Bajaw, Sama DilautPulau Kalimantan bagian timur, Sulawesi Utara (Indonesia), Malaysia, FilipinaKeyakinan lokal; sementara yang lain menganut KristianiMalayo-Polinesian
*Dirungkum dari berbagai sumber.
Singkatnya, sejarah Orang Suku Laut di kawasan Kepulauan Riau ini terbagi ke dalam lima periode kekuasaan, yakni masa Batin (kepala klan), Kesultanan Melaka-Johor dan Riau-Lingga, Belanda (1911—42), Jepang (1942—45), dan Republik Indonesia (1949 sampai sekarang) (Chou, 2003:25). Di Indonesia, penyebutan sukubangsa ini biasa dikenal sebagai ‘Orang Laut’ (sea people) atau ‘Suku Sampan’ (boat tribe/sampan tribe). Sedangkan dalam berbagai karya etnografi mengenai masyarakat yang hidup di laut dan berpidah di kawasan Asia Tenggara (lihat Tabel 1.), kita temukan beberapa macam sebutan, seperti ‘sea nomads’, ‘sea folk’, ‘sea hunters and gatherers’ (Sopher, 1977; Chou, 2003:2; Lenhart, 2004:750), ‘sea gypsies’ (Myres, 1941; Thompson, 1851 dalam Chou, 2003:2), ‘people of the sea’ (Sandbukt, 1982 dalam Chou, 2003:2), dan dalam bahasa Thai disebut Cho Lai atau Chaw Talay (Granbom, 2005; Katanchaleekul, 2007). Meskipun demikian, oleh orang Melayu Riau kepulauan mereka lebih dikenal sebagai ‘Orang Laut’ (Chou, 2003:2).
Istilah Orang Laut yang disepakati orang Melayu ini bukan hanya berlaku bagi Orang Suku Laut sebagai masyarakat pengembara lautan (sea forager), tetapi juga diberikan kepada mereka yang hidup di sepanjang pesisir pantai di Kepulauan Riau. Mereka ini awalnya merupakan bagian dari Suku Laut, namun telah dimukimkan oleh pemerintah Orde Baru pada periode pembangunan daerah tertinggal di akhir 1980-an. Bagi Orang Laut sendiri, mereka memandang kelompoknya sebagai orang Melayu asli dan menyebut orang Melayu sebagai kaum Melayu dagang karena posisi aristokratik mereka di masa lalu (Chou, 2003:35). Selain itu, klaim keaslian Orang Suku Laut sebagai penduduk asli (indigenous people) pulau-pulau di Kepulauan Riau tersebut didapat dari kisah-kisah lisan yang diceriterakan secara turun-temurun.[2]
Dimukimkan dan Diagamakan Negara
Dengan penduduk yang kurang lebih mencapai 220 juta jiwa, Indonesia tercatat secara adiministratif sekitar 87,8% warga negaranya beragama Islam atau berkisar 190 jutaan orang.[3] Sementara 12,2% sisanya menganut Kristen Protestan, Katholik, Buddha, Hindu, serta Kong Hu Chu. Prosentase ini bukanlah peta pasti. Karena, jutaan penduduk di Indonesia yang terdiri atas ratusan sukubangsa banyak yang memiliki dan mempraktikkan kepercayaan-kepercayaan lokal (yang ‘murni’ [animistik dan shamanistik] maupun yang telah bercampur [sinkretik]).
Di tanah Melayu, sebelum Indonesia berdiri, Islam secara awam telah diaku sebagai agama resmi bangsa atau orang Melayu.[4] Dan sejarah meneguhkan, dengan melekatkan agama inilah sukubangsa Melayu meneguhkan jatidiri dan kebudayaannya bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang sah, yang resmi, bagi diri mereka sejak berabad-abad yang lalu.[5] Dengan demikian, Islam menunjukkan pengaruh yang kuat dalam perkembangan budaya Melayu hingga saat ini, dan karena itu kita akrab dengan slogan: adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah sebagai pedoman hidup mereka.
Memasuki abad ke-20, seiring dengan terbentuknya negara-negara pascakolonial di kawasan Asia Tenggara termasuk Republik Indonesia, di mana secara tegas batas-batas (demarkasi) yang memisahkan satu wilayah dengan wilayah lainnya menjadi penting, dan sebab itu persoalan teritorial kemudian menjadi politis. Dalam konteks wilayah kultural Orang Suku Laut yang sebagian besar adalah laut, maka hampir tiada lagi tempat bagi suku ini berpijak dan mencari kebutuhan pokok mereka secara bebas. Kondisi inilah yang menyebabkan mereka terpaksa ‘menetap’ di satu-dua tempat, dan tidak lagi bisa hidup berpindah sesuka hati.
Dalam perkembangannya kemudian, mereka pun tersingkir dari ranah budayanya dan tergilas oleh proyek-proyek negara maupun kaum pemodal yang berorientasi pada pembangunan atau modernisasi (mulai dari penataan wilayah hingga pengembangan daerah pariwisata maritim). Ketersingkiran mereka dari area kulturalnya ini juga membuat perubahan dalam pola hidup mereka dan dari sini mereka harus bernegosiasi dengan tatanan sosial-budaya ‘daratan’ atau kepulauan (teritori budaya orang Melayu) tempat mereka ‘dilabuhkan’ (dimukimkan) (Chou 1997, 2003; Lenhart, 1997; Granbom, 2005; Trisnadi, 2002) yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Kisahnya berawal di penghujung dekade 1970 hingga awal 1990-an. Hampir seluruh wilayah di Indonesia sedang marak proyek perencanaan pembangunan jangka lima tahun yang kita kenal sebagai PELITA (Pembangunan Lima Tahun) oleh pemerintah Indonesia. Kebijakan inilah yang menyebabkan dimukimkannya Orang Suku Laut. Dan, hal ini tidak bisa dilepaskan dari sumbangan para ilmuwan sosial di Indonesia yang bekerjasama dengan negara untuk merealiasikan proyek pembanguan tersebut. Para ilmuwan kita mengidentifikasi, mendefinisikan, dan memetakan suku-suku yang dipandang terbelakang serta terasing di Indonesia. Koentjaraningrat (1993) misalnya dalam buku Masyarakat Terasing Indonesia memetakan pelbagai ‘kebudayaan primitif’ di Indonesia. Begitu pula dengan antropolog Junus Melalatoa (1995) memimpin proyek penerbitan Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia yang dicetak dalam dua jilid. Nampak jelas di sana, bagaimana profil beberapa sukubangsa diulas dalam kacamata ‘sukubangsa terasing’ rumusan pemerintah Orde Baru.
Colchester menjelaskan bahwa kala itu pemerintah Indonesia merancang area sasaran pembangunan yang terbagi dalam empat kategori: desa-desa swadaya (tradisional), desa-desa swakarya (transisional), desa-desa swasembada (developed villages), dan pra-desa (pre-villages). Kategori-kategori ini merupakan respon dari gagasan pembangunan: the expected stages of development through which rural communities are to progress uniformly as they move toward true integration into an advanced and modern Indonesian nation(Colchester, 1986:89 dalam Chou, 1997:608).
Oleh karena kerangka kebijakan pembangunan atau pemodernan yang demikian, lanjut Colchester (Ibid), Orang Suku Laut menjadi salah satu sukubangsa yang terkena imbasnya. Mereka mendapat label dari pemerintah Orde Baru sebagai bagian dari suku terasing (isolated and alien peoples) atau suku terbelakang (isolated and backward peoples) yang komunitasnya termasuk dalam kategori masyarakat pre-villages.
Hal itu berangkat dari definisi terhadap suku terbelakang yang telah diformulasikan oleh pemerintah, antara lain: (1) masih menerapkan hidup berburu dan meramu makanan dari sumber alam; (2) mempraktikkan religi lokal (seperti animisme dan shamanisme) yang bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila; (3) kondisi komunitas atau masyarakatnya dianggap belum terstruktur; (4) sebagian dari mereka buta aksara karena belum mendapat pendidikan formal; (5) seni yang dihasilkan masih pada tingkat kebudayaan ‘terendah’ (primitif); (6) masih mempraktikkan sistem tukar-menukar barang (barter exchange); dan sebagainya (Colchester 1986:90 dalam Chou, 1997:608—609). Dengan demikian, Orang Suku Laut mau tidak mau menjadi obyek sasaran dari agenda besar pemerintah kala itu.
Oleh sebab itu, mereka lantas dimukimkan di daratan, dan predikat mereka sebagai komunitas tak ‘beragama’ yang bertentangan dengan sila pertama dalam Pancasila menjadikan mereka dipaksa memeluk salah satu agama resmi pemerintah. Hal ini ternyata tidak saja berimplikasi dalam interaksi sosial dengan etnis lain (orang Melayu), namun juga dalam ilustrasi berikut ditunjukkan bagaimana Orang Suku Laut mengalami banyak kesulitan untuk beradaptasi dengan aturan-aturan pemerintah.
Jika menilik kembali apa yang terjadi di tahun 1951, berdasar sila pertama dari Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka pemerintahan Sukarno mengenalkan dan mulai memberlakukan tanda pengenal berupa KTP (kartu tanda penduduk) bagi setiap warga negara yang telah menginjak usia 17 tahun. Mereka wajib memiliki KTP yang salah satu fungsinya untuk ‘menentukan’ satu agama yang ia peluk sehingga tercantum dalam kartu tanda pengenal dan catatan negara (Sita Hidayah, 2009:5). Ini berlaku hingga sekarang. Hidayah (2009:5) melihat bahwa “the ID card is an effective mechanism of eligibility and visibility that maximizes the extent of state surveillance of citizens’ religious belonging”.
Nampak di situ bahwa pendataan warga negara melalui registrasi KTP merupakan mekanisme pemerintah dalam mengontrol warganya untuk memutuskan pilihan keyakinan yang dibatasi oleh ketetapan enam agama resmi negara (Buddha, Hindu, Kristen Protestan, Katholik, Islam, atau Kong Hu Chu) sesuai Undang-undang. Meskipun di luar agama-agama monoteis yang sah itu negara menyediakan tempat bagi warga yang menganut ‘aliran kepercayaan’, namun praksisnya negara tidak mengakomodasi aliran kepercayaan sebagai bagian dari agama yang didefinisikan dalam sila pertama tersebut (Hidayah, 2009:6). Dengan demikian, ketika seorang warga negara akan membuat KTP, maka ia wajib untuk menentukan satu dari enam agama pemerintah.
Persoalan ini muncul dalam uraian Chou mengenai kehidupan Orang Suku Laut. Ketika petugas kelurahan—yang merupakan orang Melayu—akan menyensus Orang Suku Laut, mereka diminta untuk menentukan salah satu agama yang dianut, agar mereka tercatat dalam catatan negara (pemerintah daerah). Merujuk kembali pada uraian di atas, dalam praktiknya negara tidak menerima atheisme, seperti yang terjadi pada Orang Suku Laut di Kepulauan Riau ini. Karena, bila mereka tidak beragama, maka mereka tidak akan memiliki KTP dan karena itu pula mereka dianggap bukan orang Indonesia (unindonesian) (Chou, 2003:50).
Chou juga menceriterakan pada suatu kali, kunjungan perwakilan dari Departemen Agama Provinsi Kepulauan Riau untuk memberi bantuan atau sumbangan pada Orang Suku Laut yang dianggap miskin atau terbelakang. Awalnya, bantuan itu akan dibatalkan karena petugas menganggap Orang Suku Laut bukan muslim. Di sini, petugas yang notabene adalah orang Melayu menimbang pemberian bantuan berdasarkan preferensi Islam atau bukan. Namun di sisi lain, Orang Suku Laut juga tahu bahwa orang Melayu akan membantu jika mereka Islam, rumah bersih, dan tampak sembayang lima waktu. Karena itu, mereka yang tadinya menolak untuk masuk Islam, mereka berpura-pura untuk berlaku muslim, menyatakan diri sebagai muslim. Pada jam beribadah mereka ikut sholat; sebelum petugas datang, rumah mereka dibersihkan; dan seterusnya agar mendapat bantuan dari pemerintah daerah (Chou, 2003:39-40). Akhirnya, bantuan pun diterima Orang Suku Laut.
Dari ilustrasi di atas, dengan demikian, tampak terbangun kesadaran baru di antara orang Melayu dan Orang Suku Laut atas demarkasi berbasis agama: Islam dan bukan Islam, dan identitas budaya lainnya: ‘orang kita’ (kita / insiders) dan ‘orang lain’ (mereka / outsiders), yang kemudian mempengaruhi pola-pola relasi di antara mereka sendiri (Chou, 2003:87). Uraian di atas juga secara implisit menyatakan sisi lemah ideologi Pancasila dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena pada praktiknya mempengaruhi diakui atau tidaknya hak-hak berkeyakinan pada kaum minoritas. Secara administratif kemudian Orang Suku Laut ‘diagamakan’, sebab kepercayaan lokal yang mereka anut tidak menjadi agenda negara meskipun negara mengakui bentuk aliran kepercayaan. Pengakuan atas aliran kepercayaan maupun religi lokal nampaknya tidak dapat berjalan mulus begitu saja. Apalagi mereka hidup di tanah Melayu kepulauan yang secara kultural Islam telah menjadi pedoman dalam kehidupan orang Melayu. Diskusi singkat berikut akan menunjukkan bagaimana Orang Suku Laut bertahan dalam tata-cara kebudayaan mereka walaupun orang Melayu gencar menularkan adat-istiadatnya yang islami itu.
Gagalnya akulturasi
Chou merujuk pada gagasan Shelly Errington (1989) dan Benedict Anderson (1972) dengan model sentral-periferi dalam melihat struktur sosial-politik masyarakat Melayu. Seperti analisis Anderson, bahwa masyarakat di luar pusat kekuasaan (pinggiran) harus tunduk, patuh, dan mengacu pada apa yang telah digariskan oleh pusat (yang dalam konteks kebudayaan Jawa adalah keraton), Chou menggambarkan relasi sosial dalam masyarakat Kepulauan Riau dalam kerangka serupa (Chou, 2003:25—28). Meskipun kini kesultanan Melayu sudah tidak ada lagi, namun sebagian dari masyarakat Melayu di Kepulauan Riau masih gemar mengait-ngaitkan dirinya dengan kejayaan kesultanan di masa lalu. Tidak jarang yang mencoba menelusuri kembali keterhubungan garis keturunan mereka dengan istana demi menaikkan derajat kelas sosialnya dan mempertegas batas identitas antara ‘orang Melayu asli’ dengan yang mereka katakan sebagai ‘bukan Melayu’ (Chou, 2003:25).
Dalam ilustrasi di bawah ini, nampak bagaimana garis keturunan menempati posisi penting bagi orang Melayu. Di sana terdapat kategori-kategori yang menentukan strata sosial tertentu. Mulai dari keluarga kerajaan (aristokrat) sebagai asal-muasal orang Melayu, orang Melayu biasa, orang Melayu hamba, dan Orang Suku Laut. Dari model tersebut, maka kaum aristokrat menganggap dirinya ‘asli Melayu’ dan Orang Suku Laut secara politis dianggap sebagai penduduk asli dalam urutan terluar.
Gambar 1. Ilustrasi relasi dan posisi sosial pada tiap kelas dalam kerangka konsentris yang diimajinasikan oleh bangsawan Riau di dunia Melayu (Sumber: Chou, 2003:27)
Orang Suku Laut diposisikan di area terluar (perferi) dan menempati ranking atau derajat sosial terendah dalam hierarkhi ‘dunia Melayu’. Mereka dianggap bukanlah bagian dari apa yang disebut kaum aristokrat Melayu sebagai ‘umat’ (nation of Islam) untuk menyebut bangsa Melayu yang ‘homogen’. Mereka dianggap bukan umat karena tidak menjalankan adat Melayu, tidak memeluk agama Islam, berbahasa dan berdialek Melayu, serta berpenampilan seperti lazimnya orang Melayu (Chou, 2003; Lenhart, 1997). Konstruksi struktur sosial yang demikian masih mempengaruhi masyarakat Melayu hingga sekarang. Keempat hal yang disebut terakhir itulah yang merupakan simbol-simbol terpenting dalam citra kehidupan orang Melayu. Manifestasi praktis dari hal-hal itu misalnya saja: ritual agama, tata-cara perkawinan, pemberian nama, persepsi bersih-kotor, preferensi makanan, upacara pemakaman, dan sebagainya.
Pertama dalam hal religiositas, Orang Suku Laut dianggap sekumpulan orang yang tidak beragama. Kata orang Melayu, tulis Chou, tidak cukup bagi mereka hanya berikrar masuk Islam, namun mereka tetap saja mempraktikkan ilmu hitam dan sihir. Mereka juga tidak pernah menjalankan ibadahnya (secara Islam). Bagi orang Melayu, beragama Islam dan menjadi Melayu harus memenuhi beberapa sarat, seperti: sunat (bagi laki-laki), tidak memakan babi dan menenggak minuman beralkohol, menaati tata-cara Islam dalam pemakaman, mengucap dua kalimat syahadat, kawin-cerai secara Islam, bersembayang lima waktu sehari secara Islam, membangun masjid di lingkungan kampung/desa, solat pada dua hari raya Islam (Idul Fitri dan Idul Adha), solat Jumat, menjalani puasa di bulan Ramadan, memberi zakat, dan bila mampu melaksanakan ibadah haji (Chou, 2003:28). Dengan demikian, apabila hal-hal tersebut tidak diyakini dan dijalani, maka mereka bukanlah benar-benar orang Melayu.
Kedua, adat (cara bertindak) bagi orang Melayu adalah hal penting dan mengacu pada nilai-nilai Islam. Sentimen negatif dari orang Melayu terhadap Orang Suku Laut tampak misalnya dalam hal tata-cara perkawinan. Di mata orang Melayu, kata Chou, Orang Suku Laut menikah dengan cara yang ‘aneh’. Orang Suku Laut menikah setelah sepasang kekasih minum alkohol bersama. Ketika mereka mabuk, mereka memasuki sebuah rumah dan tidur bersama. Lantas, saat mereka bangun, mereka meninggalkan rumah itu dan melaut bersama untuk mencari ikan dan lain sebagainya.
Sayangnya, stigma negatif yang secara sengaja ditempelkan orang Melayu pada Orang Suku Laut ini tidak pernah terjadi (Chou, 2003:32). Orang Suku Laut mempunyai tatacara sendiri yang relatif sederhana, yakni dua orang yang berkomitmen untuk tinggal dalam satu perahu dan menjadi partner melaut. Ini memang berbeda dengan standar tatacara orang Melayu yang cenderung Islami, seperti dengan akad di hadapan seorang iman dan seterusnya, dan tatacara Orang Suku Laut itu kerap menjadi bahan tertawaan orang Melayu.
Ketiga, sedikit kembali pada uraian sebelumnya, bahwa proyek pembangunan pada masa pemerintah Orde Baru yang menerapkan pemukiman Suku Orang Laut ke daratan dari laut ternyata ada upaya-upaya untuk mengubah nilai-nilai tertentu pada kelompok etnis sampan ini dengan cara memunculkan kesadaran akan nilai Islam yang ditularkan dari adat orang Melayu. Sebagaimana Lenhart (1997, 2002) dan Chou (1997, 2003) menyaksikan, bahwa meskipun telah disiapkan rumah-rumah panggung di tepi pantai oleh pemerintah demi berlabuhnya Orang Suku Laut, mereka tetap saja kembali ke laut dengan perahu atau sampannya. Program pemerintah untuk “memberadabkan” Orang Suku Laut gagal, walaupun awalnya mereka berkenan untuk tinggal di rumah-rumah panggung itu.
Hal ini disebabkan oleh cara pandang Orang Suku Laut terhadap daratan yang berbeda dengan orang Melayu. Dalam logika Orang Suku Laut, adalah hal yang tidak masuk akal tinggal di daratan sebab mereka anggap daratan merupakan tempat untuk mengubur jenazah kerabat yang telah meninggal. Karena itu, tanah atau daratan adalah tempat yang kotor, sehingga tidak layak untuk didiami. Menyiasati hal itu, pemerintah kemudian berstrategi untuk mengirim beberapa orang Melayu untuk mengislamkan Orang Suku Laut. Para penyebar agama yang dilakukan dari pulau satu ke pulau lainnya ini berupaya menanamkan nilai baru bahwa tinggal di perahu tidak dapat menjaga kebersihan dari najis, dan karenanya tidak bisa beribadah (solat). Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya para penyebar agama Islam juga menghimbau agar Orang Suku Laut menjadi muslim sehingga mereka mendapat bantuan dari pemerintah, berupa KTP, fasilitas rumah, pendidikan, perahu bermotor, dan lain sebagainya.
Hal-hal tersebut tidak sepenuhnya direspon secara positif oleh Orang Suku Laut untuk sertamerta menjadi muslim. Mereka memang mendeklarasikan sebagai muslim, namun hal ini hanya digunakan agar mereka mendapat bantuan pemerintah. Selebihnya, mereka tetap mempraktikkan tatacara hidup mereka seperti biasa yang mana sangat berbeda dengan orang Melayu pada umumnya. Ini merupakan wujud resistensi sekaligus kegagalan misi pemerintah untuk mengakulturasi (baca: mengislamkan) budaya orang Melayu ke dalam budaya Orang Suku Laut.
Menafikan The Other
Sebagaimana telah kita saksikan di atas, bahwa Orang Laut terpinggirkan dalam banyak hal, baik kultural dan politis. Orang Melayu dan negara dalam konsepsi definitif tentang Orang Suku Laut berupaya membawa mereka ke dalam berbagai perubahan kebudayaan. Dari segi agama, mereka dipaksa untuk memilih salah satu dari enam agama sah pemerintah. Karena, apabila mereka berikrar bahwa mereka muslim, mereka akan lebih diterima sebagai bagian dari masyarakat Kepulauan Riau secara umum. Di sisi nilai dan perilaku, Orang Suku Laut tetap tidak mengindahkan cultural rules seperti yang orang Melayu terapkan. Adanya anggapan-anggapan miring atau negatif membuat Orang Suku Laut tetap termarjinalkan. Dengan demikian, akulturasi ternyata tidak selalu bersifat “damai” dan bersih dari kepentingan kekuasaan.
Negara lewat para aparatusnya (para administratur hingga ilmuan) dan juga orang Melayu, yang barangkali tidak disadari, dengan demikian telah mengabaikan penghargaan atas eksistensi dan sikap-sikap toleransi antarsuku-bangsa. Orang Melayu yang mayoritas beragama Islam tidak mau mengakui dan toleran terhadap keberbedaan dalam Orang Suku Laut. Akhirnya Orang Suku Laut pun merasa dirinya sebagai otherness, karena mereka dianggap sebagai liyan. Dan dalam konteks relasi di antara mereka ini, konstruksi nilai-nilai Islam dalam kebudayaan orang Melayu sejauh ini bisa dibilang belum mampu menyediakan ruang-ruang interpretasi baru untuk melahirkan sikap-sikap toleransi.
Khidir Marsanto P. Sarjana Antropologi Budaya UGM, Yogyakarta.
*diambil dari Majalah BASIS, April 2010.
Kepustakaan
Adeelar, K. Alexander. 2004. “Where does Malay come from? Twenty years of discussions about homeland, migrations and classifications”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 160, no: 1, Leiden, hlm. 1—30.
Bettarini, Y. 1991. Dari Hidup Mengembara Menjadi Menetap: Orang Laut di Pulau Bertam Kotamadya Batam Provinsi Riau. Naskah tesis sarjana Antropologi tidak dipublikasikan, Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Chou, Cynthia. 1997. “Contesting the tenure of territoriality: The Orang Suku Laut”, dalam Riau in Transition, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkendkunde, 153, no: 4, Leiden, hlm. 605—629.
———-. 2003. Indonesian Sea Nomads: Money, Magic, and Fear of the Orang Suku Laut. London: Routledge Curzon.
Granbom, L. 2005. Urak Lawoi’: A Field Study of the Original Native People of the Andaman Sea, Ko Lanta and The Problems They Face With Rapid Tourism Development. Naskah tesis master tidak dipublikasikan, Departemen Antropologi, Universitas Lund, Swedia.
Hidayah, Sita. 2009. “Translating ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’: An Amenable Religious Repertoire?”, makalah dipresentasikan pada YIF 2009 kerjasama Universitas Sanata Dharma dan Yale University. Akan terbit dalam bentuk buku pada September 2010.
Koentjaraningrat (ed.). 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Lenhart, Lioba. 1997. “Orang Suku Laut: ethnicity and acculturation”, dalam Riau in Transition, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkendkunde, 153, no: 4, Leiden, hlm. 577—604.
———-. 2002. “Orang Suku Laut Identity: The Construction of Ethnic Realities,” dalam G. Benjamin & C. Chou (eds.), Tribal communities in the Malay world: Historical, Cultural and Social Perspectives, hlm. 293—317. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
———-. 2004. “Orang Suku Laut”, dalam Carol R. Ember dan Melvin Ember (eds.), Encyclopedia of Sex and Gender: Men and Women in the World’s Cultures, Volume II: Cultures L–Z, hlm. 750—759. Artikel diunduh pada 10 Juni 2009 dari:
Melalatoa, Junus. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia, Jilid I dan II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Myres, John L. 1941. “Nomadism”, The Journal of the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, Vol. 71, No. 1/2, hlm. 19-42
Shoper, David E. (1965) 1977. The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Asia . Singapore: National Museum Publication.
Trisnadi, Wiwid. 2002. Anak-anak “Orang Laut”: Tumbuh Dewasa Dalam Budaya Yang Berubah. Naskah tesis master tidak dipublikasikan Sekolah Pascasarjana Program Studi Antropologi, Jurusan Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Warren, James F. 2003. “A Tale of Two Centuries: The Globalisation of Maritime Raiding and Piracy in Southeast Asia at the end of the Eighteenth and Twentieth Centuries,” ARI Working Paper, No. 2, Juni 2003, www.ari.nus.edu.eg/pub/wps.htm.
Endnotes

[1] Urak Lawoi’ merupakan suku Laut yang hidup di Kepulauan Ko Lanta perairan Laut Andaman, Thailand sebelah barat daya. Granbom dalam tesis masternya menguraikan secara detil tentang batas-batas lingkungan kebudayaan (ecological area) masyarakat Urak Lawoi’ menetap bahwa “they have their settlement along many of the islands from Phuket down south to Ko Lipe, at the Malaysian boarder … Ko Lanta is counted as their island of origin in Thailand” (Granbom, 2003:13). Di tempat lain, K. Alexander Adelaar mencoba menjelaskan klasifikasi etnik grup Melayu berdasarkan sebaran bahasa dan dialek Melayu yang disebabkan oleh proses migrasi. Dari sini, Adelaar kemudian dapat menjelaskan bahwa Urak Lawoi’ merupakan bagian dari etnis Melayu tua karena dalam percakapan mereka terpengaruh dialek Melayu Semenanjung yang nampak pada ragam bahasa tutur mereka (Adelaar, 2004).
[2] Mengenai ceritera lisan asal-usul Orang Suku Laut, lihat Cynthia Chou, Indonesian Sea Nomads (London: Routledge Curzon, 2003), hlm. 35-36.
[3] Secara kuantitatif, Indonesia dan Malaysia (dengan sekitar 60%) merupakan dua negara terbesar di Asia Tenggara yang mayoritas warga negaranya memeluk Islam, sementara kaum muslim minoritas berada di Kamboja, Thailand, serta Filipina. Sementara, di Vietnam, Myanmar, dan Singapura warga muslim memang merupakan minoritas, namun keberadaan mereka tidak menjadi persoalan sebagaimana yang terjadi di Thailand Selatan maupun Filipina. Lihat, Robert W. Hefner (ed.), Making Modern Muslim (Hawai: University of Hawai’i Press, 2009), hlm. 3, 47.
[4] Dalam definisi singkat yang dimaksud sebagai sukubangsa atau orang Melayu dalam esai ini adalah sekumpulan orang yang menetap di Sumatera bagian utara, pesisir timur, dan juga kepulauan yang tersebar di sekitar semenanjung Melayu yang terikat oleh norma-norma serta nilai-nilai istiadat yang relatif serupa, terutama pengaruh Islam yang kuat. Sengaja, di sini saya masih menggunakan pengertian lama. Ini bukan berarti lantaran saya tidak setuju dengan pemahaman baru mengenai siapa orang Melayu itu serta batasan-batasannya yang ramai dibicarakan belakangan ini, namun esai ini (1) tidak memfokuskan ulasan redefinitif termutakhir soal siapa saja orang atau sukubangsa yang termasuk Melayu dan (2) menimbang bahwa pandangan awam soal orang Melayu saya kira masih relevan.
[5] Chou menjelaskan bahwa dikisahkan dalam Tuhfat al-Nafis, yang merupakan catatan sejarah resmi orang Melayu Riau dan kepulauan yang ditulis oleh beberapa bangsawan Kesultanan Melayu, Pulau Penyengat di Kepulauan Riau merupakan pusat pendidikan Islam di tanah Melayu dan juga merupakan wilayah sentral yang mengatur atau memerintah daerah kekuasaannya serta warganya dengan aturan dalam prinsip-prinsip ajaran Islam.

Oleh Khidir Marsanto P.
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger