hello

Monday 6 October 2014

Hukum Poligami Dalam Agama Islam

Mengapa Rasulullah SAW beristeri lebih dari empat ?

Sering menjadi pertanyaan di tengah-tengah masyarakat, mengapa Rasulullah SAW beristeri lebih dari empat orang? Sementara kaum Muslim diharamkan kawin lebih dari empat orang?

Seperti kita ketahui bahwa kaum misionaris dan orientalis sering menyerang Islam dengan masalah poligami Rasul ini.

Syekh Yusuf Qardhawi dalam kumpulan fatwanya menguraikan bahwa pada masa pra Islam, belum ada ketentuan mengenai jumlah wanita yang boleh dikawin. Belum ada batas, patokan, ikatan, dan syarat. Jadi, seorang laki-laki boleh saja kawin dengan sekehendak hatinya.

Hal ini memang berlaku pada bangsa-bangsa terdahulu, sehingga diriwayatkan dalam Perjanjian Lama bahwa Daud mempunyai 100 orang istri dan Sulaiman mempunyai 700 orang istri serta 300 orang gundik.

Ketika Islam datang, dibatalkanlah perkawinan yang lebih dari empat orang. Apabila ada orang yang masuk Islam sedang dia mempunyai istri lebih dari empat orang, maka Nabi SAW menyuruhnya untuk menceraikan istri-istri mereka hingga yang tersisa hanya empat orang saja.

Jadi, jumlah istri maksimal empat orang, tidak boleh lebih. Dan syarat yang harus dipenuhi dalam poligami ini ialah bersikap adil terhadap istri-istrinya. Kalau tidak dapat berlaku adil. cukuplah seorang istri saja,

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala, “… kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja.” (QS. An-Nisa’: 3).

Demikianlah aturan yang dibawa oleh Islam. Namun, Allah Azza wa Jalla mengkhususkan untuk Nabi SAW dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada kaum mukmin lainnya, yaitu beliau diperbolehkan melanjutkan hubungan perkawinan dengan istri-istri yang telah beliau kawini dan tidak mewajibkan beliau menceraikan mereka, tidak boleh menukar mereka, tidak boleh menambah, dan tidak mengganti seorang pun dengan orang lain.

Sebagaimana Firman Allah SWT:

لاَّ يَحِلُّ لَكَ ٱلنِّسَآءُ مِن بَعْدُ وَلاَ أَن تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ إِلاَّ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ رَّقِيباً

"Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan- perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu[Nabi tidak dibolehkan kawin sesudah mempunyai isteri-isteri sebanyak yang telah ada itu dan tidak pula dibolehkan mengganti isteri-isterinya yang telah ada itu dengan menikahi perempuan lain]" (QS. Al Ahzab: 52).

Rahasia semua itu ialah bahwa istri-istri Nabi SAW mempunyai kedudukan khusus dan istimewa yang oleh Alquran dikatakan sebagai “ibu-ibu kaum Mukmin” secara keseluruhan.

Allah berfirman, “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka…” (QS. Al-Ahzab: 6).

Sehingga bisa dibayangkan, apabila Allah menyuruh Nabi-Nya memilih empat orang untuk menjadi ibu-ibu kaum mukmin, dan menceraikan yang lainnya, yang berarti menghalangi mereka untuk mendapatkan kemuliaan, ini tentu merupakan sesuatu yang sangat sulit. Dan lagi isteri-isteri Nabi tersebut adalah “ibu-ibu kaum Mukmin” secara keseluruhan, sehingga HARAM dinikahi oleh siapapun juga apabila Allah menyuruh terjadi perceraian. Tentunya isteri² Nabi tersebut akan "menggantung" posisinya, dan menjadi pilihan yang sangat teramat sulit.

QS.33. Al Ahzab:53

يٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ تَدْخُلُواْ بُيُوتَ ٱلنَّبِىِّ إِلاَّ أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَـٰظِرِينَ إِنَـٰهُ وَلَـكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَٱدْخُلُواْ فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَٱنْتَشِرُواْ وَلاَ مُسْتَئنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى ٱلنَّبِىِّ فَيَسْتَحْيِى مِنكُمْ وَٱللَّهُ لاَ يَسْتَحْىِ مِنَ ٱلْحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَـٰعاً فَٱسْـَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَن تؤْذُواْ رَسُولَ ٱللَّهِ وَلاَ أَن تَنكِحُوۤاْ أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَداً إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيماً

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)[pada masa Rasulullah s.a.w pernah terjadi orang-orang yang menunggu-nunggu waktu makan Rasulullah s.a.w. lalu turun ayat ini melarang masuk rumah Rasulullah untuk makan sambil menunggu-nunggu waktu makannya Rasulullah], tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah."

>> Siapakah di antara wanita-wanita utama itu yang harus dijauhkan dari rumah tangga kenabian dan dijauhkan dari kemuliaan yang telah mereka peroleh itu?

Karena itu, berlakulah kebijaksanaan dan hikmah Ilahi agar mereka tetap menjadi istri-istri beliau, sebagai kekhususan bagi Rasul yang mulia dan sebagai pengecualian dari kaidah umum.

Allah berfirman, “… bahwasanya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid: 29).


Semua perkawinan yang dilakukan Nabi itu tidak mempunyai tujuan sebagaimana yang difitnahkan oleh para orientalis dan misionaris. Bukan syahwat dan bukan pula aspek biologis yang mendorong Nabi SAW dalam mengawini setiap mereka.

Kalau yang mendorong beliau melakukan perkawinan itu seperti yang dikatakan dan didesas-desuskan oleh para pembohong dan dajjal-dajjal itu, niscaya kita tidak akan melihat beliau yang masih muda belia, yang penuh vitalitas, dan dalam usia yang potensial ini membuka lembaran hidupnya dengan mengawini wanita yang lima belas tahun lebih tua daripada usianya sendiri.

Ternyata, beliau SAW mengawini Khadijah ketika berusia dua puluh lima tahun sementara Khadijah sudah berusia empat puluh tahun dan sebelumnya telah dua kali menikah dan punya beberapa orang anak.

Kalau Nabi menikah karena dorongan syahwat dan biologis, tak mungkin beliau menghabiskan usia mudanya yang merupakan usia paling menyenangkan dalam kehidupan bersuami istri beliau gunakan untuk hidup bersama dengan wanita tua.

Tahun kematian Khadijah saja disebut dengan “Amul Huzni” (Tahun Duka Cita). Beliau selalu memuji Khadijah dengan penuh kecintaan dan penghormatan sampai meninggal dunia, sehingga Aisyah RA merasa cemburu kepadanya (Khadijah) yang sudah berada di dalam kubur itu.

Setelah beliau berusia lima puluh tiga tahun, yakni setelah Khadijah wafat dan setelah hijrah, baru beliau mengawini istri-istri beliau yang lain, yaitu mengawini Saudah binti Zam’ah, seorang wanita tua, untuk memelihara rumah tangga beliau.

Kemudian beliau hendak mempererat hubungan antara beliau dengan teman dan sahabatnya, Abu Bakar, “… salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua…” (QS. At-Taubah: 40).

Beliau mengawini anak perempuan sahabatnya itu, yakni Aisyah yang masih kecil dan belum mengerti syahwat, tetapi beliau hendak menyenangkan hati Abu Bakar, sahabat beliau yang terdekat.

Kemudian karena melihat Abu Bakar dan Umar sebagai wazir Rasulullah dan beliau ingin agar kedudukan keduanya sama di sisi beliau, maka dikawinilah Hafshah binti Umar, sebagaimana sebelumnya beliau telah mengawinkan Ali bin Abi Thalib dengan putri beliau Fatimah, dan mengawinkan Utsman bin Affan dengan putri beliau Ruqayah dan Ummu Kultsum.

Hafshah binti Umar ini adalah seorang janda, dan parasnya tidak cantik. Demikian juga Ummu Salamah yang beliau kawini ketika telah menjadi janda. Ketika suaminya, Abu Salamah, masih hidup, Ummu Salamah beranggapan tidak ada lelaki yang lebih utama daripada suaminya.

Ketika Ummu Salamah hijrah bersama suaminya, mereka mendapat gangguan karena mempertahankan Islam. Suaminya pernah mengajarkan apa yang didengarnya dari Rasulullah SAW untuk mengucapkan doa ketika tertimpa musibah.

Ketika ia mengucapkan doa itu setelah suaminya meninggal, ia bertanya-tanya dalam hati, “Siapakah yang lebih baik daripada Abu Salamah?” Tetapi Allah Azza wa Jalla memberinya ganti yang lebih baik daripada Abu Salamah, yaitu Muhammad Rasulullah SAW. Nabi meminangnya untuk menghilangkan musibah (kesedihannya) dan menambal keretakan hatinya, serta menggantikan suaminya setelah ia berhijrah, meninggalkan keluarganya, dan kembali lagi kepada mereka yang semuanya dilakukan demi Islam.

Demikian pula, Rasulullah SAW mengawini Juariyah binti Al-Harits ialah untuk mengislamkan kaumnya dan menjadikan mereka bangga terhadap agama Allah. Diceritakan bahwa para sahabat setelah menawan beberapa orang pada waktu peperangan Bani Mushthaliq dan Juariyah termasuk salah seorang dari tawanan-tawanan itu.

Tatkala mereka mengetahui bahwa Nabi SAW telah mengawini Juariyah, mereka lalu memerdekakan tawanan-tawanan dan budak-budak mereka. Hal itu disebabkan karena mereka (kaum Bani Mushthaliq) telah bersemenda (menjalin hubungan keluarga) dengan Nabi SAW.

Jadi, perkawinan Nabi SAW dengan masing-masing istri beliau itu mempunyai hikmah sendiri-sendiri. Begitu pula perkawinan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Ummu Habibah ini pernah hijrah ke Habsyi bersama suaminya. Tetapi malang, setelah sampai di negeri tersebut suaminya murtad.
Comments
0 Comments
Facebook Comments by Media Blogger